09 Desember 2009

tatalaksana hipernatremia


Tatalaksana hipernatremia meliputi reduksi kehilangan air (tatalaksana underlying cause) dan koreksi kekurangan air. Untuk pasien stabil dan asimptomatik penggantian cairan melalui oral ataupun pipa nasogastrik masih efektif dan aman.

Pada pasien dengan status hipovolemik, volume extracellular fluid (ECF) dapat dipulihkan dengan larutan salin normal atau 5% dextrose dalam setengah salin normal untuk mencegah penurunan mendadak konsentrasi natrium. Hindari penggunaan D5W karena akan menurunkan kadar natrium terlalu cepat. Selama rehidrasi, pantau natrium serum untuk memastikan penurunan berlangsung perlahan dan mencegah penurunan mendadak.

Jumlah air yang dibutuhkan untuk mengoreksi hipernatremia dapat dihitung dengan persamaan berikut :
Water deficit (in liters) = (plasma Na concentration - 140)/140 x total body water
Total body water dapat diperkirakan sebagai 50% berat badan laki-laki dan 40% berat badan pada wanita. Sebagai contoh, jika laki-laki dengan berat badan 70-kg dengan kadar serum Na 160 mEq/L, maka perkiraan defisit air (160- 140)/140 x (0.5 x 70) = 5 L

Setelah defisit air diketahui, masukkan cairan untuk menurunkan kadar natrium dengan laju 0.5 s.d 1 mEq/jam dengan penurunan tidak lebih dari 12 mEq/L dalam 24 jam pertama dan sisanya dalam 48 s.d 72 jam.

hipernatremia


Hypernatremia didefinisikan sebagai konsentrasi natrium 145-150 mEq/L. Dapat disebabkan peningkatan primer Na atau kehilangan air berlebihan.

Peningkatan primer akibat hiperaldosteronisme (kelebihan mineralocorticoid), Cushing’s syndrome (kelebihan glucocorticoid), kelebihan garam hipertonik atau administrasi biknat berlebih.
Kehilangan air bebas dapat diakibatkan kehilangan melalui traktus GI atau ekskresi renal (akibat diuretic osmotic ataupun diabetes insipidus).

Hipernatremia dapat menyebabkan gejala neurologis seperti gangguan kesadaran, kelemahan, iritabel, gangguan neurologi fokal bahkan koma atau kejang. Beratnya gejala ditentukan kecepatan dan besarnya perubahan konsentrasi natrium.

26 November 2009

Tatalaksana Hipokalemia


Target tatalaksana hipokalemia adalah mengurangi hilangnya kalium dan menggantikan yang hilang.

Pemberian kalium secara IV hanya diindikasikan jika telah terbukti adanya aritmia atau hipokalemia berat (2.5 mEq/L). Koreksi bertahap lebih dianjurkan dibandingkan koreksi cepat kecuali pasien secara klinis dinilai tidak stabil. Pemberian kalium dapat diberikan secara empirik dalam kondisi emergensi.

Jika memang ada indikasi, pemberian kalium IV sebaiknya 10-20 mEq/jam dengan monitoring EKG selama infus. Larutan yang lebih pekat dapat diberikan hanya jika tersedia kateter sentral, namun dengan syarat ujung kateter tidak langsung berada di atrium kanan.

Jika cardiac arrest sangat dicurigai akibat hipokalemia maka penggantian cepat kalium dapat dilakukan. Awali dengan infus inisial10 mEq IV dalam 5 menit; ulangi sekali lagi jika diperlukan.

Hipokalemia


Hipokalemia didefinisikan sebagai kadar kalium serum kurang dari 3.5 mEq/L. Penyebab hipokalemia paling sering adalah melalui traktus GI (diarrhea, laxatives), melalui renal (hyperaldosteronism, hiperglikemia berat, diuretic yang menyebabkan ekskresi kalium, carbenicillin, sodium penicillin, amphotericin B), pergeseran intraseluler (alkalosis atau peningkatan pH), dan malnutrisi.

Hipokalemia berat dapat mengakibatkan gangguan pada otot (termasuk otot jantung) dan saraf. Miokardium sangat sensitif terhadap hipokalemia terutama jika sebelumnya telah ada penyakit arteri koroner atau telah mengonsumsi turunan digitalis. Gejala hipokalemia ringan bervariasi mulai dari kelemahan umum, kelelahan, paralisis, kesulitan bernafas, konstipasi, ileus paralitik, hingga kram kaki sementara hipokalemia yang lebih berat dapat mengubah eksitabilitas dan konduktivitas jaringan kardiak.

Hipokalemia dapat menunjukkan gelombang EKG abnormal seperti U waves, T-wave flattening, dan arrhythmia (terutama jika pasien mengonsumsi digoksin), terutama aritmia ventrikel. Bahkan dapat berkembang menjadi pulseless electrical activity atau asystole.

21 November 2009

Tatalaksana Hiperkalemia



Tatalaksana hiperkalemia ditentukan oleh derajat beratnya dan kondisi klinis pasien. Jika penyebab hiperkalemia adalah sumber eksogen maka pemberiannya harus segera dihentikan (perhatikan suplemen, cairan IV, dan obat yang meningkatkan kadar kalium seperti diuretic hemat kalium, ACE inhibitor, dan NSAID). Untuk hiperkalemia ringan dan tanpa menifestasi klinis penghentian ini ditambah kemampuan homeostasis tubuh yang baik akan mengembalikan kadar kalium serum pada rentang normal.


Pada hiperkalemia ringan (5-6 mEq/L), pengeluaran kelebihan kalium dapat dibantu dengan

1. Diuretik: furosemide 40 s.d 80 mg IV

2. Resins: Kayexalate 15 s.d 30 g dalam 50 s.d 100 mL 20% sorbitol PO atau per rectum


Untuk peningkatan sedang (6-7 mEq/L), turunkan kadar kalium serum dengan

1. Glukosa + insulin: mix 25 g (50 mL D50) glukosa dan 10 U regular insulin diberikan secara IV dalam 15 - 30 menit


2. Sodium bicarbonate: 50 mEq IV dalam 5 menit

3. Nebulisasi albuterol: 10 s.d 20 mg nebulisasi selama 15 menit


Untuk peningkatan berat (7 mEq/L dengan perubahan EKG), konsentrasi kalium diturunkan dengan memasukkan ion kalium ke dalam sel dan mengeluarkannya dari tubuh. Tatalaksana yang menyebabkan ion kalium masuk ke dalam sel akan memberikan hasil segera namun hanya bertahan sementara, jika kadar kalium naik kembali (rebound) maka tatalaksana harus diulang kembali.

Sesuai dengan urutan prioritas tatalaksana hiperkalemi berat adalah sebagai berikut:

memasukkan Kalium ke dalam sel: (sering disingkat dengan GCS A yaitu Glucose+insulin, Calcium, Sodium Biknat, Albuterol)

1. Calcium chloride (10%): 500 s.d 1000 mg (5 s.d 10 mL) IV

dalam 2-5 menit untuk mengurangi efek kalium pada sel miokard dengan segera (mengurangi re

siko VF)

2. Sodium bicarbonate: 50 mEq IV dalam 5 menit (kurang efektif pada pasien dengan end-stage renal disease)

3. Glukosa plus insulin: mix 25 g (50 mL D50) glukosa dan

10 U regular insulin dan berikan secara IV dalam 15-30 menit

4. Nebulisasi albuterol: 10 s.d 20 mg nebulisasi selama 15 menit

Mengekskresikan kalium:

5. Diuretik: furosemide 40 s.d 80 mg IV

6. Resins: Kayexalate 15 s.d 30 g dalam 50 s.d 100 mL 20% sorbitol PO atau per rectum

7. Dialisis


referensi

..

Hiperkalemia


Hiperkalemia didefinisikan sebagai konsentrasi kalium serum 5 mEq/L, sementara hiperkalemia sedang (6-7 mEq/L) dan berat (7 mEq/L). Keadaan ini dapat mengancam nyawa dan memerlukan tatalaksana segera. Hiperkalemia sering ditemukan pada pasien dengan disfungsi renal end-stage, namun banyak pula obat-obatan yang dapat menyebabkan atau memperberat hiperkalemia. Identifikasi segera dari kemungkinan penyebab akan mempercepat tatalaksana adekuat.

Tanda dan gejala hiperkalemia dapat berupa kelemahan, paralisis asending, dan kegagalan pernafasan. Varian EKG yang menunjukkan hiperkalemia yaitu berupa peaked T waves (tenting). Semakin tinggi kalium serum, gelombang P semakin mendatar, PR memanjang (first-degree heart block), QRS complex semakin melebar, S waves semakin dalam, dan menyatunya gelombang S dan T.

Jika hiperkalemia tidak ditatalaksana dengan adekuat, maka dapat terjadi sine-wave pattern, idioventricular rhythms, dan asystolic cardiac arrest.

Common Causes of Hyperkalemia

Endogenous Causes

Exogenous Causes

Chronic renal failure

Medications: K􏰂-sparing diuretics, ACE inhibitors, nonsteroidal anti-inflammatory drugs, potassium supplements, penicillin derivatives, succinylcholine, heparin therapy (especially in

patients with other risk factors), 􏰇-blockers

Metabolic acidosis (eg, diabetic ketoacidosis)

Blood administration (particularly with large transfusions of older “bank” blood)

Pseudohypoaldosteronism type II (also known as Gordon’s syndrome; familial hyperkalemia and hypertension)

Diet (rarely the sole cause), salt substitutes

Chemotherapy causing tumor lysis

Pseudohyperkalemia (due to blood sampling or hemolysis, high white blood cell count, high platelets, tumor lysis syndrome)

Muscle breakdown (rhabdomyolysis)

Renal tubular acidosis

Hypoaldosteronism (Addison’s disease, hyporeninemia)

Hyperkalemic periodic paralysis

Hemolysis


referensi


07 November 2009

video intubasi


video untuk tutorial intubasi

06 November 2009

Reaksi Akut Transfusi Darah


Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau dalam 24 jam setelah transfusi. Reaksi akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu ringan, sedang-berat dan reaksi yang membahayakan nyawa. Reaksi ringan ditandai dengan timbulnya pruritus, urtikaria dan rash. Reaksi ringan ini disebabkan oleh hipersensitivitas ringan. Reaksi sedang-berat ditandai dengan adanya gejala gelisah, lemah, pruritus, palpitasi, dispnea ringan dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya warna kemerahan di kulit, urtikaria, demam, takikardia, kaku otot. Reaksi sedang-berat biasanya disebabkan oleh hipersensitivitas sedang-berat, demam akibat reaksi transfusi non-hemolitik (antibodi terhadap leukosit, protein, trombosit), kontaminasi pirogen dan/atau bakteri.

Pada reaksi yang membahayakan nyawa ditemukan gejala gelisah, nyeri dada, nyeri di sekitar tempat masuknya infus, napas pendek, nyeri punggung, nyeri kepala, dan dispnea. Terdapat pula tanda-tanda kaku otot, demam, lemah, hipotensi (turun ≥20% tekanan darah sistolik), takikardia (naik ≥20%), hemoglobinuria dan perdarahan yang tidak jelas. Reaksi ini disebabkan oleh hemolisis intravaskular akut, kontaminasi bakteri, syok septik, kelebihan cairan, anafilaksis dan gagal paru akut akibat transfusi.


Referensi

Rahardjo E, Sunatrio, Mustafa I, Gatot D. Indikasi Transfusi Komponen Darah dalam: Transfusi Komponen Darah: Indikasi dan Skrining. HTA Indonesia: 2003, hal 21

Kapan transfusi kriopresipitat dilakukan?






Rekomendasi:

Kriopresipitat digunakan untuk:

· Profilaksis pada pasien dengan defisiensi fibrinogen yang akan menjalani prosedur invasif dan terapi pada pasien yang mengalami perdarahan.

(Rekomendasi C)

· Pasien dengan hemofilia A dan penyakit von Willebrand yang mengalami perdarahan atau yang tidak responsif terhadap pemberian desmopresin asetat atau akan menjalani operasi.

(Rekomendasi C)


Referensi

Rahardjo E, Sunatrio, Mustafa I, Gatot D. Indikasi Transfusi Komponen Darah dalam: Transfusi Komponen Darah: Indikasi dan Skrining. HTA Indonesia: 2003, hal 19

Kapan transfusi plasma beku segar (Fresh Frozen Plasma = FFP) dilakukan?






Rekomendasi:

Transfusi FFP digunakan untuk:

· Mengganti defisiensi faktor IX (hemofilia B) dan faktor inhibitor koagulasi baik yang didapat atau bawaan bila tidak tersedia konsentrat faktor spesifik atau kombinasi. (Rekomendasi C)

· Neutralisasi hemostasis setelah terapi warfarin bila terdapat perdarahan yang mengancam nyawa.

(Rekomendasi C)

· Adanya perdarahan dengan parameter koagulasi yang abnormal setelah transfusi masif atau operasi pintasan jantung atau pada pasien dengan penyakit hati.

(Rekomendasi C)


Referensi

Rahardjo E, Sunatrio, Mustafa I, Gatot D. Indikasi Transfusi Komponen Darah dalam: Transfusi Komponen Darah: Indikasi dan Skrining. HTA Indonesia: 2003, hal 16-17

23 September 2009

Transfusi Sel Darah Merah Pada Neonatus


Neonatus yang dirawat di ICU merupakan salah satu kelompok pasien yang paling sering mendapat transfusi. Namun kelompok ini juga rentan terhadap efek samping jangka panjang akibat transfusi darah. Akan tetapi jika diperlukan transfusi, maka transfusi itu harus diberikan dalam jumlah adekuat untuk mengurangi transfusi berulang dan paparan terhadap banyak donor. Namun hanya terdapat sedikit data klinis yang berkualitas tentang transfusi pada neonatus. Transfusi sel darah merah hanya diberikan untuk meningkatkan oksigenasi, mencegah hipoksia jaringan atau mengganti kelihangan darah akut. Direkomendasikan batas dasar kadar Hb untuk melakukan transfusi pada neonatus adalah kadar Hb=10,5 g/dl dengan gejala atau Hb=13 g/dl jika terdapat penyakit jantung atau paru atau jika diberikan terapi suplementasi O2. Pada anemia prematuritas dapat digunakan batas kadar Hb yang lebih rendah yaitu Hb=7,0 g/dl. Indikasi transfusi pada neonatus sangat bervariasi disebabkan adanya imaturitas fisiologis, volume darah yang kecil dan ketidakmampuan untuk mentoleransi stress minimal. Keputusan untuk melakukan transfusi biasanya berdasarkan berbagai parameter, termasuk volume darah yang hilang, kadar hemoglobin yang diinginkan dan status klinis (dispnea, apnea, distress pernapasan).

Referensi

Clinical Resource Efficiency Support Team. Guidelines for blood transfusion practice. Irlandia 2001. Didapat dari:

URL: http://www.crestni.org.uk/publications/blood_transfusion.pdf

Transfusi Sel Darah Merah Pada Perdarahan Antepartum dan Postpartum


Perdarahan antepartum dan postpartum merupakan penyebab utama kematian maternal di Inggris (sama seperti Indonesia). Angka lain menunjukkan bahwa perdarahan yang dapat mengancam nyawa terjadi pada 1 di antara 1.000 persalinan.1

Selama kehamilan, konsentrasi Hb turun disebabkan kenaikan volume plasma dalam jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah sel darah merah.1 Perdarahan akut adalah penyebab utama kematian ibu. Perdarahan masif dapat berasal dari plasenta, trauma saluran genital, atau keduanya, dan banyaknya paritas juga meningkatkan insidens perdarahan obstetrik.2 Perdarahan obstetrik didefinisikan sebagai hilangnya darah yang terjadi pada masa peripartum, yang dapat membahayakan nyawa. Pada usia kehamilan cukup bulan, aliran darah ke plasenta mencapai ±700 ml/menit. Seluruh volume darah pasien dapat berkurang dalam 5-10 menit, kecuali bila miometrium pada tempat implantasi plasenta berkontraksi. Perdarahan obstetrik mungkin tidak terduga dan masif. Adanya perdarahan obstetrik dapat dilihat dengan adanya gejala syok hipovolemik tetapi karena adanya perubahan fisiologis yang ditimbulkan oleh kehamilan, maka hanya ada beberapa tanda hipovolemia yang mungkin mengarah pada perdarahan. Tanda hipovolemia antara lain takipnea, haus, hipotensi, takikardia, waktu pengisian kapiler meningkat, berkurangnya urin dan penurunan kesadaran. Karena itu penting untuk memantau pasien dengan perdarahan obstetrik, walaupun tidak ada tanda syok hipovolemik.2

Keputusan melakukan transfusi pada pasien obstetrik tidak hanya berdasarkan kadar Hb, tetapi juga bergantung pada kebutuhan klinis pasien. Faktor yang menjadi pertimbangan adalah usia kehamilan, riwayat gagal jantung, adanya infeksi seperti pneumonia dan malaria, riwayat obstetrik, cara persalinan dan tentu saja kadar Hb.2

Penyebab perdarahan akut pada pasien obstetrik antara lain adalah abortus (abortus inkomplit, abortus septik), kehamilan ektopik (tuba atau abdominal), perdarahan antepartum (plasenta previa, plasenta abrupsi, ruptur uteri, vasa previa, perdarahan serviks atau vagina) dan lesi traumatik (perdarahan postpartum primer, perdarahan postpartum sekunder, koagulasi intravaskular diseminata (disseminated intravascular coagulation -DIC).2

Pada tahun 2001 CREST menyatakan bahwa penyediaan darah sebaiknya dilakukan pada perdarahan antepartum, intrapartum, atau postpartum yang cukup bermakna, plasenta previa, preeklampsia dan eklampsia berat, kelainan koagulasi yang bermakna, anemia sebelum operasi seksio (Hb <10>missed abortion, anemia sebelum persalinan normal (Hb <10>1

Referensi

1. Clinical Resource Efficiency Support Team. Guidelines for blood transfusion practice. Irlandia 2001. Didapat dari:

http://www.crestni.org.uk/publications/blood_transfusion.pdf

2. WHO. The clinical use of blood: handbook. Geneva, 2002. Didapat dari http://www.who.int/bct/Main_areas_of_work/Resource_Centre/CUB/English/Handbook.pdf

Kapan transfusi trombosit perlu dilakukan?






Rekomendasi:

Transfusi trombosit dapat digunakan untuk:

· Mengatasi perdarahan pada pasien dengan trombositopenia bila hitung trombosit <50.000/ul,> perdarahan mikrovaskular difus batasnya menjadi <100.000/ul.>

(Rekomendasi C)

· Profilaksis dilakukan bila hitung trombosit <50.000/ul>

(Rekomendasi C)

· Pasien dengan kelainan fungsi trombosit yang mengalami perdarahan.

(Rekomendasi C)

Referensi

Rahardjo E, Sunatrio, Mustafa I, Gatot D. Indikasi Transfusi Komponen Darah dalam: Transfusi Komponen Darah: Indikasi dan Skrining. HTA Indonesia: 2003, hal 13

Kapan transfusi sel darah merah dilakukan?





Rekomendasi:

· Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar Hemoglobin (Hb) <7>

(Rekomendasi A)

· Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10 g/dl apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan laboratorium.

(Rekomendasi C)

· Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb ≥10 g/dl, kecuali bila ada indikasi tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transport oksigen lebih tinggi (contoh: penyakit paru obstruktif kronik berat dan penyakit jantung iskemik berat).

(Rekomendasi A)

· Transfusi pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada kadar Hb ≤11 g/dL; bila tidak ada gejala batas ini dapat diturunkan hingga 7 g/dL (seperti pada anemia bayi prematur). Jika terdapat penyakit jantung atau paru atau yang sedang membutuhkan suplementasi oksigen batas untuk memberi transfusi adalah Hb ≤13 g/dL.

(Rekomendasi C)

Referensi

Rahardjo E, Sunatrio, Mustafa I, Gatot D. Indikasi Transfusi Komponen Darah dalam: Transfusi Komponen Darah: Indikasi dan Skrining. HTA Indonesia: 2003, hal 6

EIDCP mempersembahkan blog ini bagi para dokter umum, dokter spesialis, mahasiswa kedokteran dan tenaga medis yang ingin mengetahui update terbaru pengetahuan ataupun kemampuan manajemen keadaan kegawatdaruratan medis. Semua artikel telah di review oleh dewan Ilmiah EIDCP bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia.

Diberdayakan oleh Blogger.

Support

join grup facebook

Sponsors

Share on Facebook

video