26 November 2009

Tatalaksana Hipokalemia


Target tatalaksana hipokalemia adalah mengurangi hilangnya kalium dan menggantikan yang hilang.

Pemberian kalium secara IV hanya diindikasikan jika telah terbukti adanya aritmia atau hipokalemia berat (2.5 mEq/L). Koreksi bertahap lebih dianjurkan dibandingkan koreksi cepat kecuali pasien secara klinis dinilai tidak stabil. Pemberian kalium dapat diberikan secara empirik dalam kondisi emergensi.

Jika memang ada indikasi, pemberian kalium IV sebaiknya 10-20 mEq/jam dengan monitoring EKG selama infus. Larutan yang lebih pekat dapat diberikan hanya jika tersedia kateter sentral, namun dengan syarat ujung kateter tidak langsung berada di atrium kanan.

Jika cardiac arrest sangat dicurigai akibat hipokalemia maka penggantian cepat kalium dapat dilakukan. Awali dengan infus inisial10 mEq IV dalam 5 menit; ulangi sekali lagi jika diperlukan.

Hipokalemia


Hipokalemia didefinisikan sebagai kadar kalium serum kurang dari 3.5 mEq/L. Penyebab hipokalemia paling sering adalah melalui traktus GI (diarrhea, laxatives), melalui renal (hyperaldosteronism, hiperglikemia berat, diuretic yang menyebabkan ekskresi kalium, carbenicillin, sodium penicillin, amphotericin B), pergeseran intraseluler (alkalosis atau peningkatan pH), dan malnutrisi.

Hipokalemia berat dapat mengakibatkan gangguan pada otot (termasuk otot jantung) dan saraf. Miokardium sangat sensitif terhadap hipokalemia terutama jika sebelumnya telah ada penyakit arteri koroner atau telah mengonsumsi turunan digitalis. Gejala hipokalemia ringan bervariasi mulai dari kelemahan umum, kelelahan, paralisis, kesulitan bernafas, konstipasi, ileus paralitik, hingga kram kaki sementara hipokalemia yang lebih berat dapat mengubah eksitabilitas dan konduktivitas jaringan kardiak.

Hipokalemia dapat menunjukkan gelombang EKG abnormal seperti U waves, T-wave flattening, dan arrhythmia (terutama jika pasien mengonsumsi digoksin), terutama aritmia ventrikel. Bahkan dapat berkembang menjadi pulseless electrical activity atau asystole.

21 November 2009

Tatalaksana Hiperkalemia



Tatalaksana hiperkalemia ditentukan oleh derajat beratnya dan kondisi klinis pasien. Jika penyebab hiperkalemia adalah sumber eksogen maka pemberiannya harus segera dihentikan (perhatikan suplemen, cairan IV, dan obat yang meningkatkan kadar kalium seperti diuretic hemat kalium, ACE inhibitor, dan NSAID). Untuk hiperkalemia ringan dan tanpa menifestasi klinis penghentian ini ditambah kemampuan homeostasis tubuh yang baik akan mengembalikan kadar kalium serum pada rentang normal.


Pada hiperkalemia ringan (5-6 mEq/L), pengeluaran kelebihan kalium dapat dibantu dengan

1. Diuretik: furosemide 40 s.d 80 mg IV

2. Resins: Kayexalate 15 s.d 30 g dalam 50 s.d 100 mL 20% sorbitol PO atau per rectum


Untuk peningkatan sedang (6-7 mEq/L), turunkan kadar kalium serum dengan

1. Glukosa + insulin: mix 25 g (50 mL D50) glukosa dan 10 U regular insulin diberikan secara IV dalam 15 - 30 menit


2. Sodium bicarbonate: 50 mEq IV dalam 5 menit

3. Nebulisasi albuterol: 10 s.d 20 mg nebulisasi selama 15 menit


Untuk peningkatan berat (7 mEq/L dengan perubahan EKG), konsentrasi kalium diturunkan dengan memasukkan ion kalium ke dalam sel dan mengeluarkannya dari tubuh. Tatalaksana yang menyebabkan ion kalium masuk ke dalam sel akan memberikan hasil segera namun hanya bertahan sementara, jika kadar kalium naik kembali (rebound) maka tatalaksana harus diulang kembali.

Sesuai dengan urutan prioritas tatalaksana hiperkalemi berat adalah sebagai berikut:

memasukkan Kalium ke dalam sel: (sering disingkat dengan GCS A yaitu Glucose+insulin, Calcium, Sodium Biknat, Albuterol)

1. Calcium chloride (10%): 500 s.d 1000 mg (5 s.d 10 mL) IV

dalam 2-5 menit untuk mengurangi efek kalium pada sel miokard dengan segera (mengurangi re

siko VF)

2. Sodium bicarbonate: 50 mEq IV dalam 5 menit (kurang efektif pada pasien dengan end-stage renal disease)

3. Glukosa plus insulin: mix 25 g (50 mL D50) glukosa dan

10 U regular insulin dan berikan secara IV dalam 15-30 menit

4. Nebulisasi albuterol: 10 s.d 20 mg nebulisasi selama 15 menit

Mengekskresikan kalium:

5. Diuretik: furosemide 40 s.d 80 mg IV

6. Resins: Kayexalate 15 s.d 30 g dalam 50 s.d 100 mL 20% sorbitol PO atau per rectum

7. Dialisis


referensi

..

Hiperkalemia


Hiperkalemia didefinisikan sebagai konsentrasi kalium serum 5 mEq/L, sementara hiperkalemia sedang (6-7 mEq/L) dan berat (7 mEq/L). Keadaan ini dapat mengancam nyawa dan memerlukan tatalaksana segera. Hiperkalemia sering ditemukan pada pasien dengan disfungsi renal end-stage, namun banyak pula obat-obatan yang dapat menyebabkan atau memperberat hiperkalemia. Identifikasi segera dari kemungkinan penyebab akan mempercepat tatalaksana adekuat.

Tanda dan gejala hiperkalemia dapat berupa kelemahan, paralisis asending, dan kegagalan pernafasan. Varian EKG yang menunjukkan hiperkalemia yaitu berupa peaked T waves (tenting). Semakin tinggi kalium serum, gelombang P semakin mendatar, PR memanjang (first-degree heart block), QRS complex semakin melebar, S waves semakin dalam, dan menyatunya gelombang S dan T.

Jika hiperkalemia tidak ditatalaksana dengan adekuat, maka dapat terjadi sine-wave pattern, idioventricular rhythms, dan asystolic cardiac arrest.

Common Causes of Hyperkalemia

Endogenous Causes

Exogenous Causes

Chronic renal failure

Medications: K􏰂-sparing diuretics, ACE inhibitors, nonsteroidal anti-inflammatory drugs, potassium supplements, penicillin derivatives, succinylcholine, heparin therapy (especially in

patients with other risk factors), 􏰇-blockers

Metabolic acidosis (eg, diabetic ketoacidosis)

Blood administration (particularly with large transfusions of older “bank” blood)

Pseudohypoaldosteronism type II (also known as Gordon’s syndrome; familial hyperkalemia and hypertension)

Diet (rarely the sole cause), salt substitutes

Chemotherapy causing tumor lysis

Pseudohyperkalemia (due to blood sampling or hemolysis, high white blood cell count, high platelets, tumor lysis syndrome)

Muscle breakdown (rhabdomyolysis)

Renal tubular acidosis

Hypoaldosteronism (Addison’s disease, hyporeninemia)

Hyperkalemic periodic paralysis

Hemolysis


referensi


07 November 2009

video intubasi


video untuk tutorial intubasi

06 November 2009

Reaksi Akut Transfusi Darah


Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau dalam 24 jam setelah transfusi. Reaksi akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu ringan, sedang-berat dan reaksi yang membahayakan nyawa. Reaksi ringan ditandai dengan timbulnya pruritus, urtikaria dan rash. Reaksi ringan ini disebabkan oleh hipersensitivitas ringan. Reaksi sedang-berat ditandai dengan adanya gejala gelisah, lemah, pruritus, palpitasi, dispnea ringan dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya warna kemerahan di kulit, urtikaria, demam, takikardia, kaku otot. Reaksi sedang-berat biasanya disebabkan oleh hipersensitivitas sedang-berat, demam akibat reaksi transfusi non-hemolitik (antibodi terhadap leukosit, protein, trombosit), kontaminasi pirogen dan/atau bakteri.

Pada reaksi yang membahayakan nyawa ditemukan gejala gelisah, nyeri dada, nyeri di sekitar tempat masuknya infus, napas pendek, nyeri punggung, nyeri kepala, dan dispnea. Terdapat pula tanda-tanda kaku otot, demam, lemah, hipotensi (turun ≥20% tekanan darah sistolik), takikardia (naik ≥20%), hemoglobinuria dan perdarahan yang tidak jelas. Reaksi ini disebabkan oleh hemolisis intravaskular akut, kontaminasi bakteri, syok septik, kelebihan cairan, anafilaksis dan gagal paru akut akibat transfusi.


Referensi

Rahardjo E, Sunatrio, Mustafa I, Gatot D. Indikasi Transfusi Komponen Darah dalam: Transfusi Komponen Darah: Indikasi dan Skrining. HTA Indonesia: 2003, hal 21

Kapan transfusi kriopresipitat dilakukan?






Rekomendasi:

Kriopresipitat digunakan untuk:

· Profilaksis pada pasien dengan defisiensi fibrinogen yang akan menjalani prosedur invasif dan terapi pada pasien yang mengalami perdarahan.

(Rekomendasi C)

· Pasien dengan hemofilia A dan penyakit von Willebrand yang mengalami perdarahan atau yang tidak responsif terhadap pemberian desmopresin asetat atau akan menjalani operasi.

(Rekomendasi C)


Referensi

Rahardjo E, Sunatrio, Mustafa I, Gatot D. Indikasi Transfusi Komponen Darah dalam: Transfusi Komponen Darah: Indikasi dan Skrining. HTA Indonesia: 2003, hal 19

Kapan transfusi plasma beku segar (Fresh Frozen Plasma = FFP) dilakukan?






Rekomendasi:

Transfusi FFP digunakan untuk:

· Mengganti defisiensi faktor IX (hemofilia B) dan faktor inhibitor koagulasi baik yang didapat atau bawaan bila tidak tersedia konsentrat faktor spesifik atau kombinasi. (Rekomendasi C)

· Neutralisasi hemostasis setelah terapi warfarin bila terdapat perdarahan yang mengancam nyawa.

(Rekomendasi C)

· Adanya perdarahan dengan parameter koagulasi yang abnormal setelah transfusi masif atau operasi pintasan jantung atau pada pasien dengan penyakit hati.

(Rekomendasi C)


Referensi

Rahardjo E, Sunatrio, Mustafa I, Gatot D. Indikasi Transfusi Komponen Darah dalam: Transfusi Komponen Darah: Indikasi dan Skrining. HTA Indonesia: 2003, hal 16-17

EIDCP mempersembahkan blog ini bagi para dokter umum, dokter spesialis, mahasiswa kedokteran dan tenaga medis yang ingin mengetahui update terbaru pengetahuan ataupun kemampuan manajemen keadaan kegawatdaruratan medis. Semua artikel telah di review oleh dewan Ilmiah EIDCP bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia.

Diberdayakan oleh Blogger.

Support

join grup facebook

Sponsors

Share on Facebook

video