23 September 2009

Transfusi Sel Darah Merah Pada Neonatus


Neonatus yang dirawat di ICU merupakan salah satu kelompok pasien yang paling sering mendapat transfusi. Namun kelompok ini juga rentan terhadap efek samping jangka panjang akibat transfusi darah. Akan tetapi jika diperlukan transfusi, maka transfusi itu harus diberikan dalam jumlah adekuat untuk mengurangi transfusi berulang dan paparan terhadap banyak donor. Namun hanya terdapat sedikit data klinis yang berkualitas tentang transfusi pada neonatus. Transfusi sel darah merah hanya diberikan untuk meningkatkan oksigenasi, mencegah hipoksia jaringan atau mengganti kelihangan darah akut. Direkomendasikan batas dasar kadar Hb untuk melakukan transfusi pada neonatus adalah kadar Hb=10,5 g/dl dengan gejala atau Hb=13 g/dl jika terdapat penyakit jantung atau paru atau jika diberikan terapi suplementasi O2. Pada anemia prematuritas dapat digunakan batas kadar Hb yang lebih rendah yaitu Hb=7,0 g/dl. Indikasi transfusi pada neonatus sangat bervariasi disebabkan adanya imaturitas fisiologis, volume darah yang kecil dan ketidakmampuan untuk mentoleransi stress minimal. Keputusan untuk melakukan transfusi biasanya berdasarkan berbagai parameter, termasuk volume darah yang hilang, kadar hemoglobin yang diinginkan dan status klinis (dispnea, apnea, distress pernapasan).

Referensi

Clinical Resource Efficiency Support Team. Guidelines for blood transfusion practice. Irlandia 2001. Didapat dari:

URL: http://www.crestni.org.uk/publications/blood_transfusion.pdf

Transfusi Sel Darah Merah Pada Perdarahan Antepartum dan Postpartum


Perdarahan antepartum dan postpartum merupakan penyebab utama kematian maternal di Inggris (sama seperti Indonesia). Angka lain menunjukkan bahwa perdarahan yang dapat mengancam nyawa terjadi pada 1 di antara 1.000 persalinan.1

Selama kehamilan, konsentrasi Hb turun disebabkan kenaikan volume plasma dalam jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah sel darah merah.1 Perdarahan akut adalah penyebab utama kematian ibu. Perdarahan masif dapat berasal dari plasenta, trauma saluran genital, atau keduanya, dan banyaknya paritas juga meningkatkan insidens perdarahan obstetrik.2 Perdarahan obstetrik didefinisikan sebagai hilangnya darah yang terjadi pada masa peripartum, yang dapat membahayakan nyawa. Pada usia kehamilan cukup bulan, aliran darah ke plasenta mencapai ±700 ml/menit. Seluruh volume darah pasien dapat berkurang dalam 5-10 menit, kecuali bila miometrium pada tempat implantasi plasenta berkontraksi. Perdarahan obstetrik mungkin tidak terduga dan masif. Adanya perdarahan obstetrik dapat dilihat dengan adanya gejala syok hipovolemik tetapi karena adanya perubahan fisiologis yang ditimbulkan oleh kehamilan, maka hanya ada beberapa tanda hipovolemia yang mungkin mengarah pada perdarahan. Tanda hipovolemia antara lain takipnea, haus, hipotensi, takikardia, waktu pengisian kapiler meningkat, berkurangnya urin dan penurunan kesadaran. Karena itu penting untuk memantau pasien dengan perdarahan obstetrik, walaupun tidak ada tanda syok hipovolemik.2

Keputusan melakukan transfusi pada pasien obstetrik tidak hanya berdasarkan kadar Hb, tetapi juga bergantung pada kebutuhan klinis pasien. Faktor yang menjadi pertimbangan adalah usia kehamilan, riwayat gagal jantung, adanya infeksi seperti pneumonia dan malaria, riwayat obstetrik, cara persalinan dan tentu saja kadar Hb.2

Penyebab perdarahan akut pada pasien obstetrik antara lain adalah abortus (abortus inkomplit, abortus septik), kehamilan ektopik (tuba atau abdominal), perdarahan antepartum (plasenta previa, plasenta abrupsi, ruptur uteri, vasa previa, perdarahan serviks atau vagina) dan lesi traumatik (perdarahan postpartum primer, perdarahan postpartum sekunder, koagulasi intravaskular diseminata (disseminated intravascular coagulation -DIC).2

Pada tahun 2001 CREST menyatakan bahwa penyediaan darah sebaiknya dilakukan pada perdarahan antepartum, intrapartum, atau postpartum yang cukup bermakna, plasenta previa, preeklampsia dan eklampsia berat, kelainan koagulasi yang bermakna, anemia sebelum operasi seksio (Hb <10>missed abortion, anemia sebelum persalinan normal (Hb <10>1

Referensi

1. Clinical Resource Efficiency Support Team. Guidelines for blood transfusion practice. Irlandia 2001. Didapat dari:

http://www.crestni.org.uk/publications/blood_transfusion.pdf

2. WHO. The clinical use of blood: handbook. Geneva, 2002. Didapat dari http://www.who.int/bct/Main_areas_of_work/Resource_Centre/CUB/English/Handbook.pdf

Kapan transfusi trombosit perlu dilakukan?






Rekomendasi:

Transfusi trombosit dapat digunakan untuk:

· Mengatasi perdarahan pada pasien dengan trombositopenia bila hitung trombosit <50.000/ul,> perdarahan mikrovaskular difus batasnya menjadi <100.000/ul.>

(Rekomendasi C)

· Profilaksis dilakukan bila hitung trombosit <50.000/ul>

(Rekomendasi C)

· Pasien dengan kelainan fungsi trombosit yang mengalami perdarahan.

(Rekomendasi C)

Referensi

Rahardjo E, Sunatrio, Mustafa I, Gatot D. Indikasi Transfusi Komponen Darah dalam: Transfusi Komponen Darah: Indikasi dan Skrining. HTA Indonesia: 2003, hal 13

Kapan transfusi sel darah merah dilakukan?





Rekomendasi:

· Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar Hemoglobin (Hb) <7>

(Rekomendasi A)

· Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10 g/dl apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan laboratorium.

(Rekomendasi C)

· Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb ≥10 g/dl, kecuali bila ada indikasi tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transport oksigen lebih tinggi (contoh: penyakit paru obstruktif kronik berat dan penyakit jantung iskemik berat).

(Rekomendasi A)

· Transfusi pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada kadar Hb ≤11 g/dL; bila tidak ada gejala batas ini dapat diturunkan hingga 7 g/dL (seperti pada anemia bayi prematur). Jika terdapat penyakit jantung atau paru atau yang sedang membutuhkan suplementasi oksigen batas untuk memberi transfusi adalah Hb ≤13 g/dL.

(Rekomendasi C)

Referensi

Rahardjo E, Sunatrio, Mustafa I, Gatot D. Indikasi Transfusi Komponen Darah dalam: Transfusi Komponen Darah: Indikasi dan Skrining. HTA Indonesia: 2003, hal 6

Transfusi Trombosit


artikel ini dikutip dari

Rahardjo E, Sunatrio, Mustafa I, Gatot D. Indikasi Transfusi Komponen Darah dalam: Transfusi Komponen Darah: Indikasi dan Skrining. HTA Indonesia: 2003, hal 13

Penggunaan trombosit diindikasikan untuk pencegahan dan penatalaksanaan perdarahan pada pasien dengan trombositopenia atau kelainan fungsi trombosit. Hitung trombosit adalah faktor pemicu utama penggunaan trombosit, dengan faktor risiko terjadi perdarahan dan banyaknya perdarahan akan mempengaruhi keputusan perlu tidaknya transfusi.1

Pada pasien dengan kegagalan fungsi sumsum tulang, berbagai penelitian klinis terkontrol menyatakan bahwa profilaksis suspensi trombosit efektif bila hitung trombosit <10.000/ul.>20.000/uL. Umumnya, sebagian besar pedoman merekomendasikan hitung trombosit untuk prosedur operasi adalah >50.000/uL, walaupun tidak ada penelitian terkontrol yang menyatakan hal tersebut. Untuk pasien yang menjalani operasi dengan risiko tinggi terjadi perdarahan (operasi mata atau saraf), hitung trombosit perlu dipertahankan pada batas 100.000/uL.2 Untuk kasus kelainan fungsi trombosit bawaan, ada bukti ilmiah menyatakan bahwa transfusi trombosit efektif sebagai profilaksis operasi dan untuk terapi perdarahan. Sedangkan bukti ilmiah untuk kelainan fungsi trombosit yang didapat masih kurang jelas. Untuk kelainan fungsi trombosit akibat gagal ginjal maka pengobatan utamanya adalah koreksi anemia, penggunaan desmopresin dan kriopresipitat. Dalam hal ini tidak ada bukti ilmiah yang mendukung penggunaan trombosit.1

Penggunaan trombosit sebagai terapi pada pasien dengan trombositopenia dan/atau kelainan fungsi trombosit yang mengalami perdarahan bermakna harus dikontrol. Transfusi sel darah merah lebih dari 10 unit atau satu volume darah dalam 24 jam seringkali diikuti dengan hitung trombosit <50.000/ul>1

Referensi

1. National Health and Medical Research Council, Australasian Society of Blood Transfusion. Clinical practice guidelines on the use of blood components (red blood cells, platelets, fresh frozen plasma, cryoprecipitate) [draft document]. Australia: NHMRC-ASBT, 2002;1-75.

2. American Society of Anesthesiologists. Practice guidelines for blood component therapy. Anesthesiology 1996;84:732-47

Transfusi Sel Darah Merah


artikel ini dikutip dari

Rahardjo E, Sunatrio, Mustafa I, Gatot D. Indikasi Transfusi Komponen Darah dalam: Transfusi Komponen Darah: Indikasi dan Skrining. HTA Indonesia: 2003, hal 6


Transfusi satu unit darah lengkap (whole blood) atau sel darah merah pada pasien dewasa berat badan 70 kg yang tidak mengalami perdarahan dapat meningkatkan hematokrit kira-kira 3% atau kadar Hb sebanyak 1 g/dl. Tetapi, kadar Hb bukan satu-satunya faktor penentu untuk transfusi sel darah merah. Faktor lain yang harus menjadi pertimbangan adalah kondisi pasien, tanda dan gejala hipoksia, kehilangan darah, risiko anemia karena penyakit yang diderita oleh pasien dan risiko transfusi.1

Banyak transfusi sel darah merah dilakukan pada kehilangan darah ringan atau sedang, padahal kehilangan darah itu sendiri tidak menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas perioperatif. Meniadakan transfusi tidak menyebabkan keluaran (outcome) perioperatif yang lebih buruk. 2

Beberapa faktor spesifik yang perlu menjadi pertimbangan transfusi adalah: 1

· Pasien dengan riwayat menderita penyakit kardiopulmonal perlu transfusi pada batas kadar Hb yang lebih tinggi.

· Volume darah yang hilang selama masa perioperatif baik pada operasi darurat maupun elektif, dapat dinilai secara klinis dan dapat dikoreksi dengan penggantian volume yang tepat.

· Konsumsi oksigen, dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab antara lain adalah demam, anestesia dan menggigil. Jika kebutuhan oksigen meningkat maka kebutuhan untuk transfusi sel darah merah juga meningkat.

Pertimbangan untuk transfusi darah pada kadar Hb 7-10 g/dl adalah bila pasien akan menjalani operasi yang menyebabkan banyak kehilangan darah serta adanya gejala dan tanda klinis dari gangguan transportasi oksigen yang dapat diperberat oleh anemia.1

Kehilangan darah akut sebanyak <25%>plasma subtitute) atau cairan pengembang plasma (plasma expander) dapat mengembalikan volume sirkulasi sehingga mengurangi kebutuhan transfusi, terutama bila perdarahan dapat diatasi.1

Pada perdarahan akut dan syok hipovolemik, kadar Hb bukan satu-satunya pertimbangan dalam menentukan kebutuhan transfusi sel darah merah. Setelah pasien mendapat koloid atau cairan pengganti lainnya, kadar Hb atau hematokrit dapat digunakan sebagai indikator apakah transfusi sel darah merah dibutuhkan atau tidak.1

Sel darah merah diperlukan bila terjadi ketidakseimbangan transportasi oksigen, terutama bila volume darah yang hilang >25% dan perdarahan belum dapat diatasi. Kehilangan volume darah >40% dapat menyebabkan kematian. Sebaiknya hindari transfusi darah menggunakan darah simpan lebih dari sepuluh hari karena tingginya potensi efek samping akibat penyimpanan.1 Darah yang disimpan lebih dari 7 hari memiliki kadar kalium yang tinggi, pH rendah, debris sel tinggi, usia eritrosit pendek dan kadar 2,3-diphosphoglycerate rendah.1

Pertimbangan dalam memutuskan jumlah unit transfusi sel darah merah:1

· Menghitung berdasarkan rumus umum sampai target Hb yang disesuaikan dengan penilaian kasus per kasus.

· Menilai hasil/efek transfusi yang sudah diberikan kemudian menentukan kebutuhan selanjutnya.

Pasien yang menjalani operasi dapat mengalami berbagai masalah yang menyebabkan 1) peningkatan kebutuhan oksigen, seperti kenaikan katekolamin, kondisi yang tidak stabil, nyeri; 2) penurunan penyediaan oksigen, seperti hipovolemia dan hipoksia. Tanda dan gejala klasik anemia berat (dispnea, nyeri dada, letargi, hipotensi, pucat, takikardia, penurunan kesadaran) sering timbul ketika Hb sangat rendah. Tanda dan gejala anemia serta pengukuran transportasi oksigen ke jaringan merupakan alasan transfusi yang lebih rasional. 3

Penelitian oleh Carmel dan Shulman3 (dipublikasikan tahun 1989) menyatakan bahwa dispnea tidak terjadi sampai Hb <7>undertransfusion. Walaupun Hb merupakan prediktor yang cukup baik untuk kebutuhan transfusi, pengukuran oksigenasi jaringan lebih akurat dalam menentukan kebutuhan.

Referensi

1. National Health and Medical Research Council, Australasian Society of Blood Transfusion. Clinical practice guidelines on the use of blood components (red blood cells, platelets, fresh frozen plasma, cryoprecipitate) [draft document]. Australia: NHMRC-ASBT, 2002;1-75.

2. American Society of Anesthesiologists. Practice guidelines for blood component therapy. Anesthesiology 1996;84:732-47.

3. McFarland JG. Perioperative blood transfusion: indications and options. Chest 1999;115:113S-21S

13 September 2009

Glaukoma Akut Pada Layanan Kesehatan Primer


Glaucoma akut adalah neuropati optik yang diakibatkan oleh peningkatan tekanan intra ocular. Glaucoma akut merupakan salah satu kegawatan dalam penyakit mata. Penanganan segera perlu dilakukan terutama pada pelayanan kesehatan primer.

Evaluasi

Pemeriksaan dengan senter dan lup

· Tajam penglihatan kurang

· Mata merah, bengkak, mata berair

· Kornea suram karena edema

· Bilik mata depan dangkal dan pupil lebar

· Tekanan intra okuler meningkat, dibuktikan dengan tonometri schiotz ataupun teknik palpasi (tidak dianjurkan karena terlalu subjektif) bola mata teraba lebih keras daripada mata normal atau dari mata sebelahnya.

· Nyeri, pusing, bahkan mual-muntah


Penatalaksanaan

Pertolongan pertama adalah dengan menurunkan TIO secepatnya dengan memberikan serentak obat-obatan yang terdiri dari

· Asetazolamid HCL 500mg, dilanjutkan 4 x 250mg /hari

· KCL 3 x 0,5 g/hari

· Timolol 0,5% 2 x 1 tetes / hari

· Terapi simptomatik

Rujuk segera ke pelayanan tingkat sekunder/tersier


Referensi

James B, Chew C, Bron A. Lecture Notes Oftalmologi. Ed 9. EMS: Jakarta. 2005

Gondowihardjo T, Simanjuntak G. editor. Glaukoma Akut dalam Panduan Manajemen Klinis Perdami. PP Perdami: Jakarta. 2006

03 September 2009

Alkalosis metabolic


author: ruly rahadianto

Peningkatan [HCO3-] dengan kompensasi peningkatan pCO2.1

Alkalosis metabolic dapat dibedakan menjadi yang sensitive Cl maupun yang tidak.1,2,3,4,5 Pemeriksaan yang dianjurkan untuk membedakan kedua tipe ini adalah dengan pemeriksaan status volume dan Cl urin (UCl).2

UCl <>

UCl > 20 mEq/L รจ resisten Cl

Alkalosis metabolik yang sensitive Cl1,2

Etiologinya memerlukan kehadiran factor inisiasi dan rumatan.

Factor inisiasi : adalah factor yang menimbulkan kondisi retensi HCO3

- kehilangan H+ lewat GIT maupun ginjal

- alkali eksogen

- kontraksi alkali

- posthiperkapnia

Faktor rumatan : adalah factor yang mempertahankan kondisi retensi HCO3

- deplesi volume

- hiperaldosteronisme

- hipokalemia

Alkalosis metabolic resisten Cl1,2

Etiologinya berupa stimulasi langsung pada ginjal untuk mempertahankan HCO3 tanpa memperdulikan keseimbangan elektrolit.

Keadaan hipertensi

- hiperaldosteronisme

Hipo atau normotensi

- hipokalemia berat

- alkali eksogen

- sindrom Barter & Gittelman

Tatalaksana

- perbaiki underlying disorder : muntah, dll1

- untuk yg sensitive Cl, bila terjadi deplesi cairan berikan penggantian volume dengan NaCl 0,9%.1,3,4

- Perbaiki hipokalemia jika ada.

- Hanya gunakan HCL dan NHCl pada kasus berat (pH> 7.55).5,6 Atau jika NaCl atau KCl tidak dapat diberikan karena overload cairan ataupun gagal ginjal berat.6 Juga diindikasikan jika koreksi dibutuhkan dengan cepat (aritmia, ensefalopati hepatic, peningkatan konsentrasi digoxin).6

- NH4Cl 0,9% hanya boleh diberikan sebanyak 1L dalam 4 jam untuk mencegah hemolisis dan bila pasien dipastikan tidak memiliki gangguan hati ataupun ginjal.3

- Untuk yg resisten Cl dapat digunakan enzim karbonic anhidrase seperti acetazolamide (diamox).5 Dosis dewasa 5-10 mg/kg/hr PO/IV terbagi q6h. Pediatric 5 mg/kg PO qd/qod;
8-30 mg/kg/hr IV/IM dibagi q6-8h; maksimal 1 g/d.5

Referensi

1. Gomella L, Haist S. Blood Gases and Acid Base Disorders. Dalam: Clinicians Pocket Reference 10th ed. New York, McGraww-Hill; 2004:159-164

2. Sabatine M. Acid Base Disturbances. Dalam: Pocket Medicine 3rd ed. Philadelphia, Lippincot William & Willkins; 2008

3. Setyohadi B, Salim S. Gangguan Keseimbangan Asam Basa. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III, edisi keempat. Jakarta, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006: 143-149.

4. DuBose TD. Jr. Acidosis and Alkalosis. Dalam: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS et al (eds). Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th. McGraww-Hill. New York. 2005:267-70.

5. Huang L, Priestley M. Alkalosis, Metabolic: Treatment & Medication. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/906819-treatment. Diakses tanggal 18 Agustus 2009.

6. Yaseen S, Thomas C. Metabolic Alkalosis: Treatment & Medication. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/243160-treatment. Diakses tanggal 18 Agustus 2009.

EIDCP mempersembahkan blog ini bagi para dokter umum, dokter spesialis, mahasiswa kedokteran dan tenaga medis yang ingin mengetahui update terbaru pengetahuan ataupun kemampuan manajemen keadaan kegawatdaruratan medis. Semua artikel telah di review oleh dewan Ilmiah EIDCP bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia.

Diberdayakan oleh Blogger.

Support

join grup facebook

Sponsors

Share on Facebook

video