10 Agustus 2009

KAD atau SHH??

author : Nurina Meiriani

Definisi

Ketoasidosis diabetikum (KAD)merupakan komplikasi metabolik akut pada diabetes melitus yang ditandai dengan hiperglikemia, hiperketonemia, dan asidosis metabolik.1 Status hiperosmolar hiperglikemik (SHH) juga merupakan gangguan metabolik akut yang dapat terjadi pada pasien diabetes melitus, yang ditandai dengan hiperglikemia, hiperosmolaritas, dan dehidrasi tanpa adanya ketoasidosis.2 Istilah SHH merupakan istilah yang sekarang digunakan untuk menggantikan KHH (Koma Hiperosmolar Hiperglikemik) dan HHNK (Hiperglikemik Hiperosmolar non Ketotik) karena koma dapat terjadi lebih dari 50% kasus, dan ketosis ringan juga dapat ditemukan pada pasien dengan SHH.3


Etiologi

Etiologi(disusun berdasarkan frekuensi)

Obat-obatan yang dapat memicu KAD/SHH

Infeksi, terutama pneumonia, ISK, dan sepsis

Terapi insulin yang tidak adekuat

Onset baru diabetes

Penyakit kardiovaskuler, terutama infark miokard

Akantosis nigricans

Akromegali

Trombosis arteri

Kecelakaan serebrovaskuler

Hemokromatosis

Hipertiroidism

Pankreatitis

Kehamilan

Agen antipsikotik atipikal

Kortikosteroid

Glukagon

Interferon

Agen simpatomimetik, seperti albuterol, dopamin, dobutamin, dan terbutalin.


Patofisiologi

KAD ditandai dengan keadaan hiperglikemia, asidosis metabolik, dan peningkatan konsentrasi keton dalam tubuh. Ketoasidosis terjadi karena kurangnya atau tidak efektifnya kerja insulin terhadap peningkatan hormon kontraregulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan). Hubungan antara defisiensi insulin dan peningkatan hormon kontra regulator ini kemudian dapat mempengaruhi produksi glukosa, peningkatan lipolisis, dan produksi badan keton. Keadaan hiperglikemia dan tingginya kadar keton akan menyebabkan diuresis osmotik yang kemudian meembuat pasien mengalami hipovolemia dan penurunan laju filtrasi glomerulus(LFG).1

SHH ditandai dengan defisiensi konsentrasi insulin yang relatif, namun cukup adekuat untuk menghambat terjadinya lipolisis dan ketogenesis. Beberapa studi mengenai perbedaan respon hormon kontra regulator pada KAD dan SHH memperlihatkan hasil bahwa pada SHH pasien memiliki kadar insulin yang cukup tinggi, dan konsentrasi asam lemak bebas, kortisol, hormon pertumbuhan, dan glukagon yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien KAD.1

Walaupun patogenesis terjadinya KAD dan SHH serupa, namun keduanya memiliki perbedaan. Pada SHH akan terjadi keadaan dehidrasi yang lebih berat, kadar insulin yang cukup untuk mencegah lipolisis besar-besaran dan kadar hormon kontra regulator yang bervariasi.3



Diagnosis Klinis

Diagnosis secara klinis untuk membedakan antara KAD dan SHH tidaklah mudah. Gejala yang dialami oleh pasien dapat serupa.

Anamnesis

Manifestasi klinis dari KAD biasanya berlangsung dalam waktu singkat, dalam kurun waktu kurang dari 24 jam. Poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan dapat berlangsung selama beberapa hari, sebelum terjadinya ketoasidosis, muntah dan nyeri perut. Nyeri perut yang menyerupai gejala akut abdomen, dilaporkan terjadi pada 40-75% kasus KAD. Dalam suatu penelitian, didapatkan hasil bahwa kemunculan nyeri perut dapat dikaitkan dengan kondisi asidosis metabolik, namun bukan karena hiperglikemia atau dehidrasi. 4

Untuk SHH, manifestasi klinis dapat terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu. Pasien dapat mengalami poliuria, polidipsia, dan penurunan kesadaran yang progresif akibat osmolalitas darah yang sangat tinggi.3 Nyeri perut juga jarang dialami oleh pasien SHH.

Pemeriksaan Fisik

Kriteria

KAD

SHH

Tanda dehidrasi

Status mental

Kompos mentis - koma

Stupor/koma

Bau nafas aseton

+

-

Pernafasan Kussmaul

+

-

Pemeriksaan Laboratorium

Walaupun diagnosis KAD dan SHH dapat ditegakkan dari klinis, namun konfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium harus dilakukan. Hasil laboratorium yang dapat ditemukan:

Kriteria diagnostik dan klasifikasi

KAD

SHH

Glukosa plasma(dalam mg/dL)

> 250

> 600

pH arteri

<>

> 7,3

Bikarbonat serum(dalam mEq/L)

<>

> 15

Keton urin

++

+ ringan/-

Keton serum

++

+ ringan/-

Osmolalitas serum (dalam mOsm/kg)*

Bervariasi

> 320

Anion Gap

> 12

<>

* Osmolalitas darah = 2(Na serum) + Glukosa plasma/18.1

Hasil laboratorium yang perlu dipantau pada KAD dan SHH:

  • Natrium : Efek osmotik dari keadaan hiperglikemia membuat cairan berpindah dari ekstravaskular ke intravaskular. Untuk setiap 100 mg/dL glukosa (jika kadar glukosa > 100 mg/dL), kadar natrium serum dapat menurun hingga 1,6 mEq/L. Ketika kadar glukosa turun, maka natrium serum dapat meningkat.1
  • Kalium : Kadar kalium dapat bervariasi. Kondisi asidosis pada pasien dapat menyebabkan perpindahan kalium dari intraseluler ke ekstraseluler sehingga akan terjadi hiperkalemia.1 Keadaan defisiensi insulin yang lama pada pasien DM membuat pasien mengalami hiperkalemia ringan yang kronik. Pada keadaan akut, pasien dapat mengalami ekskresi kalium yang berlebih melalui ginjal ataupun gastrointestinal karena kondisi diuresis osmotik, sehingga terjadi masking effect yang dapat membuat kadar kalium dalam kisaran normal.5 Oleh karena itu, pada penatalaksanaan keadaan akut pasien DM, baik pada pemberian kalium maupun terapi insulin, kadar kalium harus selalu dievaluasi dengan ketat agar tidak terjadi aritmia jantung. Elektrokardiogram dapat digunakan sebagai sarana evaluasi keadaan jantung.1
  • Peningkatan kadar BUN, sebagai pengaruh dari keadaan dehidrasi pasien. Kadarnya harus dipantau untuk melihat ada tidaknya insufusiensi renal.2,6
  • Urinalisis : Digunakan untuk menilai adanya glukosuria atau ketosis urin. Selain itu, urinalisis juga dapat digunakan jika dicurigai terjadi infeksi pada traktus urinarius.2,6


Tata Laksana

Tujuan dari terapi KAD dan SHH, yaitu:

1. Restorasi volume sirkulasi dan perfusi jaringan

2. Penurunan secara bertahap kadar glukosa serum dan osmolalitas plasma

3. Koreksi ketidakseimbangan elektrolit

4. Perbaikan keadaan ketoasidosis pada KAD

5. Mengatasi faktor pencetus


Terapi Cairan

Pasien dengan KAD memerlukan rehidrasi dengan estimasi cairan yang diperlukan 100 ml/kgBB. Terapi cairan awal bertujuan mencukupi volume intravaskular dan restorasi perfusi ginjal.1 Terapi cairan saja dapat menurunkan kadar glukosa darah.5 Salin normal (NaCl 0,9%) dimasukkan secara intravena dengan kecepatan 500 – 1000 mL/jam selama dua jam pertama. Perubahan osmolalitas serum tidak boleh lebih dari 3 mOsm/jam. Namun, jika pasien mengalami syok hipovolemik, maka cairan isotonik ketiga atau keempat dapat digunakan untuk memberikan tekanan darah yang stabil dan perfusi jaringan yang baik.1

Setelah volume intravaskular terkoreksi, terapi dengan normal salin sebaiknya dikurangi menjadi 250 mL/jam atau diganti dengan salin 0,45% (250 – 500 mL/jam), tergantung pada konsentrasi natrium serum dan status hidrasi pasien.1

Jika kadar gula darah mencapai 250 mg/dL pada KAD atau 300 mg/dL pada SHH, penggantian cairan harus mengandung glukosa 5-10% untuk mencegah terjadinya hipoglikemia karena pemberian insulin juga akan dilakukan untuk koreksi keadaan ketonemia.1

Tujuan dari terapi ini adalah untuk mengganti setengah defisit cairan selama 12 – 24 jam. Kegagalan koreksi keadaan dehidrasi dapat mengakibatkan penundaan pada koreksi elektrolit.1

Terapi Insulin

Pemberian insulin dengan dosis yang kecil dapat mengurangi risiko terjadinya hipoglikemia dan hipokalemia. Fungsi insulin adalah untuk meningkatkan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer, menurunkan produksi glukosa oleh hati sehingga dapat menurunkan konsentrasi glukosa darah. Selain itu, insulin juga berguna untuk menghambat keluaran asam lemak bebas dari jaringan adiposa dan mengurangi ketogenesis.1

Pada pasien dengan klinis yang sangat berat, reguler insulin diberikan secara kontinu intravena. Bolus reguler insulin intravena diberikan dengan dosis 0,15 U/kgBB, diikuti dengan infus reguler insulin dengan dosis 0,1 U/kgBB/jam (5-10 U/jam). Hal ini dapat menurunkan kadar glukosa darah dengan kecepatan 65-125 mg/jam.

Jika glukosa darah telah mencapai 250 mg/dL pada KAD atau 300 mg/dL pada SHH, kecepatan pemberian insulin dikurangi menjadi 0,05 U/kgBB/jam (3-5 U/jam) dan ditambahkan dengan pemberian dextrosa 5-10% secara intravena. Pemberian insulin tetap diberikan untuk mempertahankan glukosa darah pada nilai tersebut sampai keadaan ketoasidosis dan hiperosmolalitas teratasi.

Ketika protokol KAD atau SHH berjalan, evaluasi terhadap glukosa darah kapiler dijalankan setiap 1-2 jam dan darah diambil untuk evaluasi elektrolit serum, glukosa, BUN, kreatinin, magnesium, fosfos, dan pH darah setiap 2-4 jam.1

Terapi Kalium

Secara umum, tubuh dapat mengalami defisit kalium sebesar 3-5 mEq/kgBB. Namun, kadar kalium juga bisa terdapat pada kisaran yang normal atau bahkan meningkat. Peningkatan kadar kalium ini bisa dikarenakan kondisi asidosis, defisiensi insulin dan hipertonisitas. Dengan terapi insulin dan koreksi keadaan asidosis, kadar kalium yang meningkat ini dapat terkoreksi karena kalium akan masuk ke intraseluler. Untuk mencegah terjadinya hipokalemia, pemberian kalium secara intravena dapat diberikan. Pemberian kalium intravena (2/3 dalam KCl dan 1/3 dalam KPO4) bisa diberikan jika kadar kalium darah kurang dari 5 mEq/L.

Pada pasien hiperglikemia dengan defisit kalium yang berat, pemberian insulin dapat memicu terjadinya hipokalemia dan memicu terjadinya aritmia atau kelemahan otot pernafasan. Oleh karena itu, jika kadar kalium kurang dari 3,3 mEq/L, maka pemberian kalium intravena harus segera diberikan dan terapi insulin ditunda sampai kadarnya ≥ 3,3 mEq/L.1

Terapi Bikarbonat

Pemberian bikarbonat pada pasien SHH tidak diperlukan, sedangkan pada KAD masih kontroversial. Asidosis metabolik berat dapat mengakibatkan kerusakan kontraktilitas jantung, vasodilatasi serebri dan koma, serta komplikasi gastrointestinal. Akan tetapi, alkalinisasi darah yang agresif juga dapat mengakibatkan hipokalemia, asidosis SSP paradoks, dan asidosis intraseluler karena peningkatan produksi CO2.

Beberapa studi gagal memperlihatkan perbaikan keadaan dengan pemberian bikarbonat pada pasien KAD dengan pH darah arteri antara 6,9-7,1. Namun beberapa ahli tetap merekomendasikan pemberian bikarbonat pada pasien dengan pH darah <>1

Pemberian bikarbonat dapat diberikan secara bolus atau intravena dalam cairan isotonik dengan dosis 1-2 mEq/kgBB.3


Referensi:

1. Umpierrez GE, Murphy MB, Kitabchi AE. Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic hyperosmolar syndrome. 2002[sitasi 20 Mei 2009] 15:28-36. Diunduh dari:http://spectrum.diabetesjournals.org/cgi/content/full/15/1/28

2. Sergot PB. Hyperosmolar hyperglycemic states. Emedicine. 2008[sitasi 20 Mei 2009. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/766804-overview

3. Kitabchi AE, Fisher JN. Hyperglycemic crises:diabetic ketoacidosis (DKA) and hyperglycemic hyperosmolar state (HHS). Dalam: Berghe GV. ed. Contemporary Endocrinology: Acute Cause to Consequence. New York, Humana Press. 119-47.

4. Syahputra MHD. Diabetik ketoasidosis. Diunduh dari:http://library.usu.ac.id/download/fk/biokimia-syahputra2.pdf

5. Dixon T. Potassium balance. Diunduh dari: http://www.uhmc.sunysb.edu/internalmed/nephro/webpages/Part_D.htm

6. Rucker DW. Diabetic Ketoacidosis. Emedicine. 2008[sitasi 20 Mei 2009]. Diunduh dari:http://emedicine.medscape.com/article/766275-overview

EIDCP mempersembahkan blog ini bagi para dokter umum, dokter spesialis, mahasiswa kedokteran dan tenaga medis yang ingin mengetahui update terbaru pengetahuan ataupun kemampuan manajemen keadaan kegawatdaruratan medis. Semua artikel telah di review oleh dewan Ilmiah EIDCP bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia.

Diberdayakan oleh Blogger.

Support

join grup facebook

Sponsors

Share on Facebook

video